Selasa, 15 Maret 2011

Teori Kesesakan

A. Pengertian Kesesakan

Menurut Altaman (dalam, Prabowo 1998), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.

Menurut Baum dan Paulus (dalam, Prabowo 1998) menerangkan terdapat 4 faktor :
a. Karakteristik seting fisik
b. Karakteristik seting sosial
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi



Menurut Stokols (dalam, Prabowo 1998) menjelaskan perbadaan antara kesesakan sosial dengan kesesakan bukan sosial yaitu:
a. kesesakan bukan sosial (Nonsocial crowding) yaitu faktor fisik menghasilakan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah yang sempit.
b. kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran oranglain yang terlalu banyak.

Stokols juga membedaan antara kesesakan molekuler dan molar yaitu:
a. kesesakan mokelar (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.
b. kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.

Menurut Ancok (1989) besar kecilnya rumah menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Begitu pula sebaliknya dengan rumah yang makin kecil dan banyak penghuninya akan muncul perasaan sesak.
Menurut Rapoport (dalam, Prabowo 1998) menjelaskan kesesakan adalah suatu evaluasi subjetif dimana besarnya ruang dirasakan tidak mencukupi.

Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu : Beban Stimulus, Kendala Perilaku, dan Teori Ekologi (Bell dkk, 1978; Holahan, 1982).
1. Model Beban Stimulus, yaitu : kesesakan akan terjadi pada individu yang dikenai terlalu banyak stimulus, sehingga individu tersebut tak mampu lagi memprosesnya.
2. Model Kendala Prilaku, yaitu : menerangkan kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa, sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Hambatan ini mengakibatkan individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Terhadap kondisi tersebut, individu akan melakukan psychological reactance, yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi yang mengancam kebebasan untuk memiliih.
3. Model Teori Ekologi, yaitu : membahas kesesakan dari sudut proses sosial.
Bentuk pschological reactance adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi kebebasan yang hilang dengan cara mencari lingkungan baru atau dengan menata kembali lingkungan yang menyesakkan. Pembahasan teori ekologi akan membahas kesesakan dari sudut proses sosial.

1. Teori Beban Stimulus

Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti:

(a) Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan.
(b) Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat.
(c) Suatu percakapan yang tidak dikehendaki.
(d) Terlalu banyak mitra interaksi.
(e) Interaksi yang terjadi dirasa lalu dalam atau terlalu lama.

2. Teori Ekologi

Menurut Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.
Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.

Analisi terhadap seting meliputi :
1. Maintenance minim, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4 x 3 m bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
2. Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan)
3. Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
• Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan isteri.
• Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga.
Besarnya maintenance minim antara performer dan non-performer tidak terlalu sama. Dalam seting tertentu, jumlah performer lebih sedikit daripada jumlah non-performer, dalam seting lain mungkin sebaliknya.

3. Teori Kendala Perilaku

menurut Proshasky dkk (1979) mengemukakan bahwa pengaruh psikologi dari kesesakan yang utama adalah kebebasan memilih individu dalam situasi yang sesak.
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak apabila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat.



Menurut Altman kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor dibawah ini muncul secara simultan:

1. Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor :
(a) Faktor-faktor situsional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.
(b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.
(c) Kondisi interpersonal, sepwerti gangguan sosial, ketidak mampuan memperoleh sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan lainnya.

2. Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stress, kekacauan pikiran, dan persaan kurang enak badan.

3. Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stress atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.

Untuk mendapatkan interaksi yang diinginkan menggunakan bermacam-macam mekanisme penyesuaian diri (coping) antara lain verbal, paravebal, non verbal, ruang personal, dan perilaku teritori

Faktor-Faktor yang Mempengaharui Kesesakan

Terdapat tiga faktor yang mempengarui kesesakan yaitu : personal, sosial, dan fisik.

1. Faktor Personal

Terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.

a. Kontrol pribadi dan locus of control
Menurut gifford (1987) individu yang mempunyai locus control internal, yaitu kecendrungna individu untuk mempercayai atau tidak mempercayai bahwa keadaan yang belum ada di dalam dirinya yang berpengaruh terhadap kehidupan, dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal
b. Budaya, pengalaman dan proses
Menurut sundstrom (dalam ,) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres akibat kesesakan yang dialami.
c. Jenis kelamin dan usia
Menurut altman dkk penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibandingkan wanita kerena wanita lebih menunjukkan sikap-sikap reaktip terhadap kondisi seperti sikap yang lebih agresif, kompetitif dan negatif dalam berinteraksi dengna oranglain.

2. Faktor Sosial

Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaharui oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk kedaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :

(a) Kehadiran dan perilaku orang lain.
(b) Formasi koalisi.
(c) Kualitas hubungan.
(d) Informasi yang tersedia.

3. Faktor Fisik

Altman (1975), Bell dkk (1978), Gove dah Hughes(1983) mengemukakan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaharui kesesakkan. Stessor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain :

(a) Besarnya skala lingkungan.
(b) Variasi arsitektural.


3. Pengaruh pada Kesesakan
Faktor sosial yang mempengaruhi rasa kesesakan adalah kualitas relasi di antara orang-orang yang harus berbagi ruang tersebut. Kesesakan akan semakin terasa apabila kerumunan orang yang berada di sekitar kita tidak kita kenal. Karena itu, kesesakan yang dirasakan terkait dengan harapan seseorang atau relasi terhadap orang lain di sekitarnya.
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan tipe informasi yang diperoleh seseorang sebelum atau selama mengalami kepadatan tinggi. Mereka yang tidak menerima informasi sama sekali atau mendapat pesan mengenai reaksi emosional.
Tatanan ruang di dalam bangunan atau pun di luar bangunan juga mempengaruhi kesesakan. Sebuah asrama yang memiliki lorong panjang, menimbulkan kesesakan dan stres bagi penghuni dibandingkan lorong yang pendek. Tinggal di hunian bertingkat banyak menimbulkan kesesakan yang lebih besar dibandingkan dengan di hunian bertingkat rendah. Penghuni yang tinggal di lantai yang lebih tinggi tidak terlalu merasa sesak dibandingkan dengan yang tinggal di lantai bawah (Schiffenbauer, 1979). Hal ini mungkin terjadi karena lebih sedikit tamu yang menuju ke aras atau karena pemandangan dari jendela lantai atas lebih luas dan lebih terang.


4. Dampak Kepadatan pada Manusia
Pengaruh personal, sosial dan fisik dapat menyebabkan seseorang merasa sesak. Kepadatan tinggi tidak hanya menyebabkan seseorang merasa sesak, tetapi juaga menyebabkan dampak sebagai berikut.
a. Dampak penyakit dan patologi sosial atau penyakit kejiwaan. Meskipun tidak selalu kepadatan tinggi berarti meningkatnya patologi sosial.
b. Dampak pada tingkah laku sosial, yaitu agresi, menarik diri dari lingkungan sosial, cenderung melihat sisi negatif orang lain.
c. Dampak pada hasil usaha dan suasana hati. Hasil usaha yang menurun dan suasana hati yang cenderung murung.
Konsekuensi lain dari kepadatan tinggi adalah persepsi bahwa kontrol seseorang menjadi rendah karena kita harus berbagi sumber dan mengambil keputusan bersama dengan lebih banyak orang jika kepadatan meningkat.



(Sumber: ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA, karya Joyce Marcella Laurens)
prabowo, H .1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Jakarta: Gunadarma.

Rabu, 09 Maret 2011

KEPADATAN

A. Definisi Kepadatan adalah :

- Sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (Sundstrom, dalam Wrightsman & Deaux, 1981).
- Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
- Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat apabila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Akibat negatif dari Kepadatan
Penelitian menurut Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba merinci manusia yang merasakan dan reaksi terhadap kepadatan yang terjadi. Hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan yaitu :
1. Ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan keseharan atau peningkatan pada kelompok manusia.
2. Peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa menjadi sangat menurun bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density)
3. Terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

B. katagori Kepadatan :

- Menurut Holahan (1982) yaitu :
1. Kepadatan Spasial (Spatial Density) terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang.
2. Kepadatan Spasial (Spatial Density) terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

- Menurut Altman (1975) yaitu :
1. Kepadatan Dalam (Inside Density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruangan atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar, dsb.
2. Kepadatan Luar (Outside Density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

- Menurut Jain (1987) yaitu :

Setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.


- Menurut Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman yaitu :
1. Lingkungan Pinggiran Kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah.
2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah.
3. Lingkungan mewah perkotaan, dimana kepada dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi.
4. Pekampungan Kota ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
A.

- Menurut Taylor (dalam Gifford, 1982) yaitu :
Lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaharui sikap, perilaku, keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.

C. Akibat dari Kepadatan Tinggi

Rumah dan Lingkungan pemukiman akan memberikan pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya, para ahli mengemukakan akibat dari kepadatan yang tinggi yaitu:

- Menurut Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaharui sikap, perilaku, dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.

- Menurut Schorr (dalam Ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stres dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974).

- Menurut Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan MacFarling, 1978) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi sosial. Para mahasiswa yang bertempat tinggal di asrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain mahasiswa yang tinggal di tempat padat cenderung untuk menghindari kontak sosial dengan orang lain.

- Akibat secara Fisik yaitu : reakasi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan MacFarling, 1978).

- Akibat secara Sosial yaitu : adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan MacFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).

- Akibat secara Psikis yaitu:
1. Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stress (Jain, 1987) dan perubahan susana hati (Holahan, 1982).
2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan MacFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
3. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan, 1982; Fisher dkk., 1984).
4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan MacFarling, 1987; Holahan. 1982).


prabowo, H .1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Jakarta: Gunadarma.

Rabu, 02 Maret 2011

Ambient Condition dan Architectural Features

A. AMBIENT CONDITION


 Rahardjani (1987) dan Ancok (1988) : beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku, yaitu : kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan, dan warna.
 Menurut Ancok (1988) : keadaan yang bising dan temperatur yang tinggi dapat mempengaruhi emosi seseorang ditempat tersebut, dan ini akan dapat berpengaruh terhadapt hubungan sosial didalam maupun diluar rumah.
 Menurut Rahardjani (1987) : kebisingan juga dapat berakibat menurunnya kemampuan mendengar seseorang dan menurunnya konsentrasi belajar pada anak.
 Menurut Ancok (1988) : sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik dan ketegangan jiwa.

Kebisingan

Sarwono (1992), terdapat tiga faktor yang menyebabkan suatu suara secara psikologis dianggap bising, yaitu : volume, perkiraan, dan pengendalian. Jika dilihat dari tingkat volume, suara yang makin keras akan semakin dirasakan mengganggu. Lalu kebisingan dapat diperkiraan datangnya atau berbunyi secara teratur, akan menimbulkan gangguan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan suara yang datangnya secara tiba-tiba dan tidak teratur.
Faktor kendali amat terkait dengan perkiraan, bila kita menyetel lagu metal, kita tidak merasakannya sebagai suatu kebisingan karena kita dapat mengaturnya sekehendak kapan suara itu kita perlukan.
Holahan (1982), membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi empat efek, tiga diantaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku. Kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematik yang secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Pada efek kesehatan, jika kebisingan dalam intensitas yang tinggi kita biarkan saja dan dalam jangka yang panjang, maka akan dapat menjadi penyebab hilangnya kemampuan kita dalam mendengar. Dan pada efek perilaku, kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi hilangnya beberapa aspek perilaku sosial

Suhu dan Polusi Udara
Holahan (1982), tingginya suhu dan polusi udara setidaknya minimal menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. Beberapa studi korelasional dibeberapa kota di Amerika Serikat menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara musim panas dan tingkat mortalitas. Tahun 1976 tingkat mortalitas ini meningkat hingga 50% dibeberapa area. Studi lain menunjukan adanya hubungan antara meningkatnya polusi udara dengan munculnya berbagai penyakit pernapasan seperti asma, infeksi saluran pernapasan, serta flu dibeberapa kota diAmerika Serikat. Pada efek perilaku menunjukan bahwa temperature yang tinggi akan mempengaruhi perilaku sosial. Seorang yang dalam keadaan temperature tinggi (lebih dari 100 derajat F) ternyata memiliki penilaian yang tidak jelas pada kuesioner, dan jelas berbeda dengan orang yang dalam kondisi nyaman.
Bell dan Baron (dalam holahan, 1982) gagal menemukan bahwa panas dapat mengurangi perhatian seseorang terhadap orang lain disekitarnya. Baron dan kawan-kawannya (dalam holahan, 1982), temperatur yang tinggi dapat mengurangi tingkat agresi seseorang pada orang lain pada seting yang sama. Kedua hasil dari penelitian ini penyebabnya adalah karena adanya perasaan senasib.
Rahardjani (1987), suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : warna dinding dalam dan luar rumah, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni. Suhu yang paling nyaman adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Menurut Mom dan Weilsebrom, secara fisiologis aliran udara berfungsi sebagai pasokan oksigen untuk pernapasan; mengalirkan uap air yang berlebihan dan asap; mengurangi konsentrasi gas, bakteri, dan bau; mendinginkan suhu; dan membantu penguapan keringan manusia.

Pencahayaan dan Warna
Fisher dan kawan-kawan (1984), pada dasarnya, cahaya dapat mempengaruhi kinerja, dengan cara mempermudah atau mempersulit penglihatan ketika kita mengerjakan sesuatu. Pada satu sisi, tidak adanya cahaya sama sekali akan membuat kita tidak mampu untuk mengerjakan suatu tugas dikarenakan kita tidak dapat membacanya.
Suatu studi oleh Boyce (1984) dan pendapat holahan (1982) yang menunjukan bahwa ketika cahaya meningkat sampai mencapai suatu tingkat kritis, kemampuan visual dan kinerja meningkat.
Corwin bennet (1982) menemukan bahwa penerangan yang lebih kuat ternyata mempengaruhi kinerja visual kita menjadi semakin meningkat dan teliti. Akan tetapi juga dapat menunjukan bahwa pada satu titik dimana cahaya menjadi terlalu besar, kemampuan visual kita dapat menurun.
Seperti halnya cahaya, warna juga dapat mempengaruhi kita secara langsung maupun ketika menjadi bagian dari suatu seting. Cahaya dan warna sulit untuk dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi.

Silau
Peristiwa silau terjadi ketika suatu sumber cahaya lebih terang dari pada tingkat penerangan yang normal, sehingga mata kita beradaptasi dengan cara menutupnya langsung seketika, ketika kita melihatnya. Studi yang dilakukan boyce dan Mc Cormick (1982) menunjukan bahwa disability glare atau efek langsung dari silau pada kinerja visual ternyata dapat mempengaruhi kualitas kerja seseorang. Efek negatif lainnya adalah meningkatkan perasaan silau sampai mendekati garis pandangan seseorang.

Warna
Warna yang amat terang dapat berpengaruh terhadap penglihatan. Area yang diberikan warna lebih terang disatu sisi menimbulkan kelelahan mata, juga akan menghasilkan bayangan yang mengganggu. Warna yang terlalu kontras, dapat memberikan terlalu banyak penangkapan mata dan memberikan kesan membingungkan (Lang, 1987).
Heimstra dan Mc Farling, warna memiliki tiga dimensi, yaitu: kecerahan (brightness), corak warna (hue), dan kejenuhan (saturation). Kecerahan adalah intensitas warna; corak warna adalah warna yang melekat dari suatu objek; kejenuhan adalah tingkatan unsure warna putih yang dicampurkan pada warna lainnya. Khroma untuk menggantikan kejenuhan, dan nilai (value), yaitu tingkatan gelap dan terang warna.
Holahan (1982) dan Mehrabian & Russel (1978), warna juga memiliki efek independen terhadap suasana hati, tingkat pembangkitan, dan sikap. Wilson (1984) dan Mehrabian & Russel (1978) melaporkan bahwa corak merah memunculkan pembangkitan fisiologis dari pada corak hijau. Nakshian dan Birren (1978) warna merah lebih membangkitkan dari pada warna abu-abu, sedangkan abu-abu lebih membangkitkan dari pada hijau.
Baum dan Davis menemukan bahwa intensitas yang berbeda dari warna yang sama mempengaruhi respon subjek terhadap ruang-ruang yang dijadikan objek. Penelitian lain oleh Helson dan Landsford (1970) menemukan bahwa latar belakang warna yang paling ceria adalah putih, cahaya merah yang ringan, kuning, hijau, dan biru, demikian pula dengan hijau gelap dan hitam.
Child dan Iwaomelakukan penelitian tentang pengaruh warna terhadap perilaku mahasiswa-mahasiswa dari jepang dan amerika. Hasilnya menunjukan bahwa mahasiswa dari kedua negara tersebut tidak konsisten terhadap pilihan warna terang.
Lang (1987) terdapat perkiraan untuk mempertimbangkan efek psikologis dari persepsi warna. Beberapa ahli percaya bahwa warna gelap memiliki efek ke arah depresif, dan warna terang membuat hidup menjadi lebih mudah, lebih gembira, dan lebih akrab.

Pencahayaan dan Warna Di Dalam Ruangan
Preferensi warna akan menjadi lebih baik jika disertai adanya pemahaman terhadap situasi yang lebih mendalam terhadap jenis ruangan apa yang akan dirancang. Pemahaman tersebut antara lain adalah besar kecilnya ruangan, fungsi ruangan, dan kejenuhan.

B. ARCHITECTURAL FEATURES

Estetika
Pengetahuan tentang estetika akan memberikan perhatian pada dua hal. Pertama, identitas dan pengetahuan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan untuk menikmati karya yang menunjukan estetika.
Spranger membagi orientasi hidup menjadi enam kategori yaitu,
1. nilai estetis
2. nilai ekonomi
3. nilai kekuasaan
4. nilai sosial
5. nilai religious
6. nilai intelektual.
Menurut Fisher dan kawan-kawan (1984) salah satu tujuan utama dari desain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah diselesaikan. Kualitas estetika memegang peranan penting dalam hal ini.
Penelitian tentang kesan tentang daerah urban mengemukakan bahwa kualitas estetika mempengaruhi kemampuan orang untuk menemukan jalan melintasi bentang kota (Lynch, 1984). Ada pula bukti yang mengemukakan bahwa kualitas estetika dapat mengurangi monotoni kota dan memelihara tingkat stimulasi yang memadai.
Penelitian Maslow dan Mintz (1956) membandingkan penilaian subjek terhadap serangkaian foto ruangan-ruangan yang “indah”, ruangan yang biasa, dan ruangan yang buruk. Hasilnya menunjukan bahwa penilaian subjek terhadap foto akan positif jika mereka pernah berada di dalam ruangan yang indah, dan akan negatif jika mereka pernah berada pada ruangan yang buruk.

Perabot
Perabot, pengaturannya, dan aspek-aspek lain dari lingkungan ruang dalam merupakan salah satu penentu perilaku penting. Imamoglu menemukan bahwa ruangan yang kosong dipersepsikan lebih besar dari pada ruangan yang memiliki perabot.
Pengaturan perabot dapat digunakan untuk membantu mengatur perencanaan tata ruang arsitektur suatu seting. Pada kebanyakan konteks lingkungan, dinding, lokasi pintu sudah ditetapkan. Samuelson dan Lindauer (1978) melakukan studi mengenai penataan perabotan.

Selasa, 22 Februari 2011

Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan

A. Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan

Ada 3 orientasi teori besar dalam psikologi lingkungan yang menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Pertama, perilaku disebabkan oleh faktor dalam (deterministik). Dua, perilaku disebabakan faktor lingkungan atau proses belajar. Ketiga, perilaku disebabkan interaksi manusia-lingkungan.
Beberapa pendekatan teori dalam psikologi lingkungan yaitu : Teori Arousal, Teori Stimulus Berlebihan, Teori Kendala Perilaku, Teori Tingkat Adaptasi, Teori Stres Lingkungan, dan Teori Ekologi.

1. Teori Arousal (Arousal Theory)
Arousal (pembangkit) : tingkat keterbangkitan adalah bagian penting dari emosi. Teori ini berpendapat bahwa emosi tingkat tinggi dalam keterbangkitan seperti : kemarahan, ketakutan dan kenikmatan, sedangkan tingkat keterbangkitan yang rendah seperti : kesedihan dan depresi (Dwi Riyanti dan prabowo, 1997). Dalam psikologi lingkungan hubungan antara arousal dengan kinerja.
Menurut Mandler (dalam Hardy dan Hayes, 1985) menjelaskan bahwa emosi muncul pada saat tidak diharapkan atau pada saat rintangan yang tertantang untuk mencapai tujuan yang menimbulkan pengalaman emosional. Perubahan emosi yang secara ekstrim seperti : bergembira dan bergairah pada saat tertentu atau perasaan dukacita. Mandler menamakan sebagai teori interupsi. Manusia memiliki motivasi untuk mencapainya yang disebut “dorongan-keinginan otonomik” fungsinya untuk memunculkan arousal sehingga dapat berubah-ubah dari aktifitas ke satu aktifitas lainya
Menurut sarwono, 1992 dalam psikologi lingkungan hubungan antara arousal dengan kinerja seseorang dijelaskan : tingkat arousal yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah, makin tinggi tingkat arousal akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula.

2. Teori Beban Stimulus (Stimulus Load Theory)
Teori beban stimulus adalah adanya dugaan bahwa manusia memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi. Menurut Cohan (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) input (masukan) yang melebihi kapasitas akan cenderung untuk mengabaikan beberapa masukan dan mencurahkan perhatian lebih banyak ke hal lain. Jika kelebihan kapasitas sehingga individu tidak mampu lagi mengatasi kognisinya, maka menyebabkan individu mengalami gangguan kejiwaan seperti merasa tertekan, bosan, dan tidak berdaya. Manusia akan memilih stimulus mana yang akan dipriotaskan atau diabaikan untuk menentukan reaksi-reaksi positif dan negatif terhadap lingkungan.
Teori ini juga mempelajari pengaruh stimulus lingkungan yang kurang menguntungkan. Perilaku-perulaku yang muncul dalam situasi tertentu ada yang understimulus ataupun berbalik menjadi overstimulus.

3. Teori Kendala Perilaku (Behavioral Constrain Theory)
Teori Kendala Perilaku membahas tentang kenyataan, atau perasaan, kesan yang terbatas dari individu terhadap lingkungan. Menurut Stokols (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) lingkungan dapat mencegah, mencampuri, atau membatasi membatasi perilaku penghuni. Teori ini berkenyakinan dalam situasi tertentu seseorang benar-benar kehilangna beberapa tingkat kendali lingkunganya.
Brem-brem (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) memiliki enomena ini beistilah reakstansi psikologi (psycological reanctance). Berpendapat ketika merasakan bahwa kita sedang kehilangan kontrol atau kendali terhadap lingkungan, berawal dari merasa dalam diri yang tidak nyaman kemudian mencoba menekankan lagi fungsi kendali kita.
Sarwono (1992) menjelaskan situasi yang tidak menyenangkan jika pilihan alternatif tidak ada, atau bertingkahlaku alternatif lain yang dicoba untuk dikakukannya ternyata gagal dalam mengatasinya dan terjadi berulangkali, maka akan memunculkan perasaan putus asa ataupun tidak berdaya. Ketidakberdayaan inilah yang disebut learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari).

4. Teori Tingkat Adaptasi
Sarwono (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) teori tingkat adapatasi lebih membicarakan secara spesifik, yaitu 2 proses yang terkait pada hubungan tersebut:
a. adaptasi adalah mengubah tingkah laku atau respon-respon agar sesuai dengan lingkunganya, misalnya dalam situasi yang keadaan dingin atau suhu menurun yang menyebabkan terjadinya otot kaku dan dapat menurunkan aktifitas motorik.
b. Adjustment adalah mengubah lingkungan supaya menjadi sesuai dengan lingkunganya, misalnya keadaan dingin bisa saja orang membakar kayu untuk memenaskan tubuhnya. Salah satu cara tersebut dilakuakan seseoarang supaya tercapainya keseimbangan dengan lingkungannya (homeostatis).
Teori ini mirip dengan teori stimulus berlebihan, menjelakan bahwa suatu stimulus dapat dirumuskan untuk mengoptimalkan perilaku. Nilai lain pada pendekatan ini adalah pengenalan tingkat adaptasi pada individu. Tingkat adaptasi dimana pada akhirnya individu terbiasa dengan lingkunganya atau tingkat pengharapan individu pada kondisi lingkungan tertentu. Bahkan pendekatan ini ketika menghadapi lingkungan yang sama akan memunculkan respon yang berbeda-beda.
Sarwono (1992) terdapat 3 katagori stimulus yang dijadikan acuan dalam psikologi lingkungan dengan tingkah laku yaitu : Stimulus fisik yang merangsang indra (suara, cahaya, suhu udara), Stimulus sosial dan gerakan. Dari ke tiga stimlus mengandung dimensi yaitu : intensitas,diversitas,dan pola

5. Teori stres lingkungan
Teori stres menekankan pada mediasi peran-peran, fisiologi, kognisi dalam interaksi antara manusia dan lingkungan. Pengindraan manusia dimana suatu respons stres yang terjadi pada segi-segi lingkungan melebihi tingkat optimal dan manusia itu akan merespons berbagai cara untuk mengurangi stres. Menurut (Sarwono,1992) reaksi waspada (alarm reaction) terhadap stresor dapat berupa meningkatnya denyut jantung atau meningkatnya adrenaliin, sementara reaksi penolakan dapat berupa tubh menggigil kedinginan atau berkeringat kepanasan. Suatu bentuk coping, ketika individu akan bereaksi terhadap stresor, individu menghindar dan menyerang secara fisik atau verbal, atau mencari kompromi.

6. Teori ekologi
Menurut pemikiran oara ahli teori ekologi adalah gagasan tentang kecocokan manusia dengan lingkungan. Menurut Roger (dalam Sarwono, 1992) tingkah laku tidak hanya ditentukan dari gagasan kecocokan manusia dengan lingkungan, melainkan keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Menurut baker hubungan tingkah laku dengan lingkungan adalah seperti dua arah atau interpendensi ekologi dan mempelajari hubungan timbal balik antara lingkungan dengan tingkah laku. Pada teori baker terdapat seting perilaku adalah pola tingkah laku kelompok bukan individu yang terjadi akibat kondisi lingkungan tertentu (physical milleu).
Dikatakan oleh Vitch dan Arkkelin (1995) bahwa belum ada grands theories psikologi terdiri dalam psikologi lingkungan dan yang baru ini dalam tataran mini. Beberapa teori ini dari dasar empiris tetapi kurang didukung dari data empiris dan metode penelitian yang digunakan belum konsisten. Olehkarena itu 3 orientasi teori psikologi yang slanjutnya akan dipaparkan secara mendalam mengenai teori mini dalam psikologi. Salah satu teori medan Kurt Lewin dengan bermula B=f (E,O). Perilaku merupakan fungsi dari lingkungan dan organisme. Berdasarkan premis dasar muncul beberapa teori mini seperti : teori beban lingkungan, teori hambatan perilaku, teori level adaptasi. Teori stres lingkungan dan teori ekologi.
Yang berbeda dari teori sebelumnya, akan dijelaskan adalah
Teori Beban lingkungan
Premis dasar teori ini adalah manusia mempunyai kapasitas terbatas. Menurut Cohen ada 4 dasar teori ini yaitu :
a. Manusia mempunyai kapasitas yang terbatas dalam pemrosesan informasi.
b. Ketika stimulus lingkungan melebihi kapasitas pemrosesan informasi, pemrosesan perhatian tidak akan dilakukan secara optimal.
c. Ketika stimulus sedang berlangsung diperlukan respon adaptif yaitu stimulus akan di evaluasi melalui proses pemantauan dana keputusan dibuat atas dasar respon pengatasan masalah
d. Jumlah perhatian yang diberikan orang tidak konstan sepanjang waktu tetapi tidak sesuai kebutuhan.

B. Metode Penelitian Dalam Psikologi Lingkungan

Veitch dan Arkkelin (1995) ada 3 metode yang biasa digunakan dalam psikologi lingkungan. Ketiga metode penelitian itu adalah: Eksperimen Laboratorium, Studi Korelasi, dan Eksperimen Lapangan.

a) Eksperimen Laboratorium
Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berhubungan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium merupakan pilihan yang biasa diambil. Metode ini memberikan kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasi secara sistematis variabel yang diasumsikan sebagai penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variable-variabel yang mengganggu (extraneous variables). Metode eksperimen laboratorium juga mengatur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar-benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini memilih subjek secara random dalam kondisi eksperimen, jadi setiap subjek memiliki kesempatan yang sama dalam setiap kondisi eksperimen.

b) Studi Korelasi
Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi, maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode korelasi. Pada metode ini, studinya dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data.
Ketika korelasi digunakan, maka tidak ada penyimpulan yang dimungkinkan, karena hanya diketahui dari dua atau lebih variabel yang berhubungan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat menentukan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan bermacam indikator dari patologi sosial dengan menggunakan metode korelasi, tetapi dia tidak dapat memberikan pernyataan bahwa kepadatan penduduk menyebabkan patologi sosial. Berbeda dengan eksperimen laboratorium, studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tetapi seringkali validitas internalnya lemah.

c) Eksperimen Lapangan
Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dapat dicapai melalui eksperimen laboratoruim dengan validitas internal yang dicapai melalui studi korelasi, maka dia dapat menggunakan eksperimen lapangan sebagai metode campurannya. Dengan menggunakan metode ini, eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu.
Untuk mencapai pengertian ilmiah terhadap suatu fenomena, seorang ilmuwan tidak hanya mengembangkan teori serta mengamati segala yang menjadi minatnya. Namun juga menentukan metode terbaik, baik untuk menguji teori maupun tujuan pengamatan. Pada analisis terakhir, peneliti harus menentukan tujuan spesifik penelitian kemudian memilih metode yang paling sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Senin, 14 Februari 2011

pengantar psikologi lingkungan

Psikologi Lingkungan

A. Latar belakang Sejarah psikologi lingkungan
Pada tahun 1943 Kurt Lewin memberikan istilah Psychological Ecology (Ekologi Psikologi). Egon brunswik dengan beberapa mahasiswa mengajukan istilah lagi yaitu Ecological Psychologi (psikologi ekologi.
Pada tahun 1947 Roger Barker dan Herbert Wright untuk suatu unit ekologi kecil yang melikupi prilaku manusia sehari-hari memperkenalkan istilah Behavioral Setting (Seting Perilaku).
Tahun 1961 dan 1966 pertama kali ketika di adakan konferensi pertama di utah memperkenalkan istilah Architektural Psychology (Psikologi Arsitektur). Namun banyak yang menggunakan istilah “Environment and behavior” lingkungan dan tingkah laku pada tahun 1960’an.
Baru pada tahun 1968 Harold proshansky dan william ittelson yang memperkenalkan program tingkat doktoral di bidang Environmental Psychology di CNUY.
Krut Lewin pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang mengatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari pribadi dan lingkungan. Teori ini mempertimbangakan interaksi antara lingkungan dan manusia. Dalam rumusannya TL = f(P.L).
TL = tingkah laku, f = fungsi , P = pribadi, L = lingkungan
Masing – masing komponen tersebut mempunyai kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi , yaitu daya tarik, daya mendekat, daya tolak dan daya menjauh.

B. Definisi Psikologi Lingkungan
Beberapa tokoh akan mendefinisikan psikologi lingkungan yang memiliki beragam batasan, yaitu :
1. Heimasta dan Mc Farling (dalam Prawitasari, 1989) : Psikologi lingkungan adalah disiplin yang memperhatikan dan mempelajari hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan fisik.
2. Gifford (1987) : Psikologi lingkungan adalah sebagai studi dari transaksi diantara individu dengan seting fisiknya. Transaksi yang terjadi pada individu akan mwngubah lingkungan dan sebaliknya individu di ubah oleh lingkungan. Jadi manusia dan lingkungan akan saling mempengaruhi.
3. Ahli lain Canter dan Craik (dalam Prawitasari, 1989) : Psikologi lingkungan adalah area psikologi yanga melakukan konjungsi dan analisis tentang transaksi hubungan antara pengalaman dan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan lingkungan sosio fisik.
4. Emery dan Tryst (dalam Soesilo, 1989) : Psikologi lingkungan adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan yang merupakan suatu jaringan transactional Interdependen menjadi ketergantungan satu sama lain.
5. Veicth dan Arkkelin (1995) : Psikologi lingkungan adalah ilmu perilaku multidisiplin yang memiliki orientasi dasar dan terapi yang memfokuskan interrelasi antara perilaku dan pengalaman manusia sebagai individu dengan lingkungan fisik dan sosial.

Veitch dan Arkkelin (1995) membahas unsur-unsur dari pengertian psikologi lingkungan yaitu, perilaku manusia, perspektif disiplin ilmu dan masalah teori atau praktek.
1. Para ahli psikologi menjabarkan perilaku psikologi dengan proses-proses fisiologi, psikologi, dan perilaku manusia.
a. Proses fisiologi meliputi : detak jantung, respon kulit galvonis, reflek, dsb.
b. Proses psikologi meliputi : stres, perubahan sikap, kepuasan, dsb.
c. Proses perilaku meliputi : agresi, kinerja, alturisme, dsb.

2. Dalam penelitiannya mengunakan perspektif interdipliner, dalam kaitanya psikologi lingkungan dengan perilaku manusia, maka disebutkan sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, antara lain : metodologi dan geofisika, kimia, fisika, arsitek dan biologi. Menurut Veitch dan Arkkelin yang terlibat didalamnya antara lain :
• Geografi : beberapa ahli sejarah dan geografi mencoba menerangkan jatuh bangunnya peradapan disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Thoybe mengembangkan teori bahwa lingkungan adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan menimbulkan rusaknya peradaban. Sedangkan yang kecil hanya akan mengakibatkan stagnasi kebudayaan. Tantangan tingkat menengah juga dapat mempengaruhi perkembangan peradaban.
Kaeakteristik lingkungan seperti : spesifik topologi, iklim, vegestasi, ketersedian air, dsb.
• Biologi Ekologi : perkembangan teori-teori ekologi adanya ketergantungan biologi dan sosiologi yang berkaitan hubungan antara manusia dengan lingkungan. Dengan berkembangnya ilmu ekologi, seorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, hubungan saling tergantung antara manusia dengan lingkungan.
• Behaviorisme : pemikiran yang datang dari cabang disiplin psikologi sendiri adalah behaviorsme. Pemikiran behaviorisme muncul sebagai reaksi atas kegagalan teori-teori kepribadian untuk menerangkan prilaku manusia. Pada saat ini secara umum dapat diterima bahwa dua hal penting yang menjadi pertimbangan adalah korteks lingkungan dimana suatu perilaku muncul dan variabel-variabel personal seperti kepribadian dan atau sikap. Dua hal ini akan lebih dapat diramalkan suatu fenomena manusia dengan lingkungan daripada jika dibuat pengukuran sendiri-sendiri.
• Psikologi gestalt : berkembangnya psikologi ini berbarengan dengan behaviorisme bahkan psikologi gestalt lebih menekankan pada persepsi dan kognisi sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Psikologi gestalt mempunyai prinsip penting yaitu, objek-objek, orang-orang, dan seting-seting dipersepsi sebagai suatu keseluruhan. Perilaku didasarkan dari proses kognitif bukan dipengaruhi oleh proses stimulus tetapi dari persepsi terhadap stimulus. Pengaruh psikologi gestalt pada psikologi lingkungan antara lain, menjelaskan persepsi, berfikir dan pemerosesan informasi lingkungan.

C. Ruang lingkup
Menurut Proshansky (1947), psikologi lingkungan memberi perhatian terhadap manusia, tempat, serta perilaku dan pengalaman manusia yang berhubungan dengan setting fisik. Setting fisik disini bukan hanya berupa rangsangan fisik, tetapi juga termasuk sebuah kompleksitas yang terdiri dari beberapa setting fisik dimana seseorang tinggal dan melakukan aktivitasnya. Sehubungan dengan itu, bisa dikatakan pusat perhatian psikologi lingkungan adalah lingkungan binaan atau built environment.
Lebih jauh, pembahasan mengenai lingkup psikologi lingkungan juga mencakup :
1. Rancangan (desain)
2. Organisasi & pemaknaan
3. hal-hal spesifik seperti : ruang kamar, perumahan, pemilihan warna, pesawat, seting kota, tempat rekreasi, hutan alami.
Pada era ‘70-an, muncul istilah Sosiologi Lingkungan. Perbedaan pada unit analisanya seperti :
• Psikologi Lingkungan adalah pada unit analisisnya : kumpulan manuisa sebagai individu.
• Sosiologi Lingkungan : unit-unit dalam masyarakat (lebih ke sosial)
• Psikologi Lingkungan : manusia dan kumpulan manusia sebagai individu (lebih ke individu)

Ada 4 jenis lingkungan dalam Sosiologi Lingkungan yang sering juga dipakai dalam Psikologi Lingkungan, terutama 2 poin pertama :
1. Natural Environment : laut, hutan, pegunungan, gurun, dsb
2. Built Environment : jalan raya, apartemen, taman kota, lapangan bola, dsb
3. Social Environment
4. Modified Environment
D. Ambient Condition & Architectural Features
Hubungan dengan lingkungan fisik menurut Wrightman & Deaux terdapat 2 bentuk kualitas:
1. Ambient Condition : Kualitas fisik keadaan sekitar individu
misalnya : sound, cahaya, warna, temperatur, dsb
3. Architectural Features : mencakup setting-setting yang bersifat permanen. Suatu ruangan antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta peralatan perabotan dan dekorasi

Sumber :
Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf

Sabtu, 01 Januari 2011

don't be afrais

jika kalian kesepian,,,
masih ada aku dan mereka yg menemani kalian,,

jika kalian ingin kasih sayang,,
masih ada aku dan mereka yg sangat mencintai dan sayaang pd kalian,,

jika kalian ingin tau tentang banyak hal yg ada didunia,,
masih ada aku dan mereka yg akan berusaha mengajari tentang arti hidup ini, ssuai pengalaman,,

jika kalian ingin tau tentang banyak pelajaran,,
masih ada aku dan mereka yg akan berusaha mendidik kalian dgn baik dan sukses di kelak nanty,,

jika kalian takut diwaktu malam,,
masih ada aku dan mereka yg akan menerangi kalian diwaktu gelap,,

jika kalian kepanasan akan teriknya matahari,,
masih ada aku dan mereka yg akan meneduhkan kalian diwaktu siang,,

jika kalian sedih karna kurangnya tak seperti yg lain,,
masih ada aku dan mereka yg akan melengkapi hari-har kalian i ini,,
hingga kalian mengerti,,,
bahwa kalian,, masih punya aku dan mereka yg tak akan pernah meninggalkan kalian,,

HILANGKANLAH HAL-HAL YG KALIAN TAKUTI,,
HIDUP TERUS BERJALAN SAYAAAAANG,,
hadapi semua dengan SEMANGAT dan SENYUM untuk menyambut masa depan yg indah,,


anggaplah aku sebagai

temanmu saat diajak bermain,,
sahabatmu saat kau ingin bercerita tentang rahasia kecilmu,,
seorang ibunda saat kau inginkan kasih sayangnyaa,,

kehidupan

hidup itu banyak yang mesti dipelajari,,

bukan hanya teori yang mendalam,,

tapi juga praktek yang maksimal,,



tidak cukup hanya dengan Science,,

ataupun logika,,

empiris berperan juga dalam menjalani kehidupan ini,,



Em,,pi,, ris,, "Pengalaman"

yang dapat dipelajari bukan hanya peristiwa pada diri sendiri tetapi "belajar dari pengalaman oranglain"

dan mengambil hal yg positifnya



dari mulai masa Infancy (kelahiran bayi) sampai masa Late Adulthood (65 keatas/sampai meninggal)

manusia akan terus belajar,,

dari mulai mata terbuka sampai mata terpejam manusia terus mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang dialaminya,,



tak terhitung apa yang sudah didapatkan,,

tak terhingga segala nikmat yang diterima,,



miliar buku yang dapat dituliskan,,

miliar copy vedio yang dapat terekam,,

cukup 1 otak manusia untuk menyimpan smua peristiwa yang terjadi,,

yaa,, secara tidak sadar terjadi,,

=> represi kejadian sblm 2011 yaitu dengan cara melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk di ingat,,

=> kompensasi di awal tahun yaitu dengan cara berusaha mengimbangi ketidakmampuan yang dilakukan secara tidak sadar dengan menonjolkan hal lain yang baik dan lebih kearah positif



^_^ semangat, tabah, berusaha dan berdoa untuk menjalani kehidupan ini

bersiap dan mempersiapkan diri selalu menemukan kejutan2 yang ada didunia ini,,

berikan hal terbaik untuk orang disekitar qta,,

terutama pada orang2 yang sudah mengajari qta pengalaman hidup,,

arti hidup dengan segala perjuangan,,

mereka adalah orang2 yang bersejarah,,

karena banyak pengalaman dari mereka untuk kita,,