Limbah adalah buangan
yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Limbah mengandung bahan
pencemar yang bersifat racun dan bahaya. Limbah ini dikenal dengan limbah B3
(bahan beracun dan berbahaya). Bahan ini dirumuskan sebagai bahan dalam jumlah
relatif sedikit tapi mempunyai potensi mencemarkan/merusakkan lingkungan
kehidupan
dan sumber daya. Terbagi menjadi dua limbah yaitu : limbah padat dan limbah cair
Limbah padat lebih
dikenal sebagai sampah,
yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai
ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia
Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas
tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama
bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah.
Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan
karakteristik limbah
Limbah cair
biasanya dikenal sebagai entitas pencemar air. Komponen pencemaran air
pada umumnya terdiri dari bahan buangan padat, bahan buangan organik dan bahan
buangan anorganik
Macam Limbah Beracun
- Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
- Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan api, gesekan atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.
- Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
- Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, kulit atau mulut.
- Limbah penyebab infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit atau limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.
- Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk limbah yang bersifat asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
Pengelolaan
Limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang
mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. Pengelolaan Limbah B3 ini
bertujuan untuk mencegah, menanggulangi pencemaran dan kerusakan
lingkungan, memulihkan kualitas lingkungan tercemar, dan meningkatan
kemampuan dan fungsi kualitas lingkungan
Saya akan membahas perilaku menyampah dari
perspektif psikoanalisis, kali ini dari sudut pandang behavioristik. Perilaku
membuang sampah sembarangan dalam pandangan penganut perspektif behavioristik
punya penjelasan yang berbeda lagi.
Latar Belakang Pendekatan psikologi lingkungan muncul
sebagai protes terhadap pendekatanyang hanya memperhatikan faktor-faktor
individual sebagai penyebab dari munculnya masalah-masalah sosial. Selama tahun
1970-an dan awal tahun 1980-an, kontekstualisme makin diperhatikan di beberapa
bidang penelitian psikologi. Para psikolog di semua bidang pemusatan utama
psikologi melihat adanya kelemahan dari penelitian-penelitian yang tidak
memperhatikan konteks, dan menyerukan perlunya penelitian perilaku yang lebih
menggunakan pendekatan yang holistik danmemakai dasar ekologis (Stokols, 1987 dalam
Stokols & Altman, 1987). Psikologi lingkungan adalah bidang psikologi yang
menggabung-gabungkan dan menganali stransaksi serta tata hubungan dari
pengalaman serta tindakan manusia denganaspek-aspek dari lingkungan sosio fisiknya
yang terkait. Kebersihan lingkungan merupakan salah satu tolok ukur kualitas
hidup masyarakat. Masyarakat yang telah mementingkan kebersihan lingkungan dipandang
sebagai masyarakat yang kualitas hidupnya lebih tinggi dibandingkan masyarakat
yang belum mementingkan kebersihan. Salah satu aspek yang dapat dijadikan
indikator kebersihan lingkungan kota adalah sampah. Bersih atau kotornya suatu
lingkungan tercipta melalui tindakan-tindakan manusia dalam mengelola dan menanggulangi
sampah yang mereka hasilkan (Istiqomah Wibowo, 2009).
Perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap
sampah dapatmenyebabkan munculnya masalah dan kerusakan lingkungan. Bila
perilaku manusia semata-mata mengarah lebih pada kepentingan pribadinya, dan
kurang atau tidak mempertimbangkan kepentingan umum/kepentingan bersama, maka
dapat diprediksi bahwa daya dukung lingkungan alam semakin terkuras habis dan akibatnya
kerugian dan kerusakan lingkungan tak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu,
sampah dan benda-benda buangan yang banyak terdapat di lingkungan kehidupan kita perlu ditanggapi secara
serius dan perlu dicari cara yang tepat untuk menanggulanginya.
Terkait dengan pendekatan Psikologi Lingkungan yang menganalisis
perilaku manusia dengan aspek-aspek lingkungan sosiofisiknya, maka untuk
keperluan di atas psikologi lingkungan merupakan pendekatan yang palingtepat
dalam menjelaskan dan menganalisis gejala hubungan/keterkaitan antaramanusia
dan masalah lingkungan yang ditimbulkannya (Istiqomah Wibowo, 2009).Salah satu
fenomena yang sering ditemukan di masyarakat dalam tentangketerkaitan antara
perilaku manusia dengan lingkungannya adalah kebiasaanmembuang sampah ke
sungai, yang dilakukan terutama oleh penduduk miskin yangtinggal di sekitar
sungai. Kebiasaan membuang sampah ke sungai merupakan salahsatu penyebab utama
terjadinya polusi air sungai, yang kemudian menghasilkan dampak buruk lainnya
seperti banjir serta masalah penyebaran berbagai jenis penyakit akibat konsumsi
atau penggunaan air sungai untuk keperluan lainnya olehmasyarakat.
Menurut
behaviorisme - dipelopori oleh John B. Watson, Ivan P. Pavlov, Burrhus F.
Skinner, Edward L. Thorndike- perilaku manusia bukan dikendalikan oleh faktor
dalam (alam bawah sadar), tetapi sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor eksternal
yakni lingkungan. Penganut behaviorisme memandang manusia sebagai homo mechanicus,
manusia mesin.
Behaviorisme
tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau
emosional. Behaviorisme hanya ingin mengetahui sebagaimana perilaku individu
dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Individu bersifat sangat plastis,
bisa dibentuk menjadi apa dan siapa, atau berperilaku apa saja sesuai dengan
lingkungan yang dialami atau yang dipersiapkan untuknya. Dengan kata lain,
respon atau perilaku individu dalam situasi tertentu sangat dipengaruhi dan
ditentukan oleh stimulus atau apa yang diterimanya dari lingkungan. Salah satu
prinsip perilaku menurut pendekatan behavioristik adalah perilaku organisme
terbentuk melalui pembiasaaan atau kondisioning. Prinsip lainnya, perilaku yang
mendapat hadiah (reward) cenderung diulangi. Sebaliknya, perilaku yang
mendatangkan hukuman (punishment) cenderung dihindari.
Dalam perspektif
behaviorisme, respon atau perilaku menyampah yang dilakukan baik oleh pria
maupun perempuan dalam kasus di atas –termasuk perilaku menyampah yang sering terjadi
di sekitar kita- merupakan perilaku hasil pembiasaan yang dibentuk oleh
lingkungan. Kemungkinan besar, pengalaman menyampah pria dan perempuan tersebut
selama ini di bandara atau di jalan atau bahkan juga di tempat-tempat umum
lainnya, tidak mendapatkan hukuman (misalnya dimarahi petugas atau kena denda).
Yang mereka dapatkan ketika menyampah justru konsuekuensi yang menyenangkan
yakni terbebas dari sampah puntung rokok dan tissue yang dirasakan
mengganggu. Tentu saja, perilaku mereka akan sangat lain jika ketika menyampah,
mereka segera mendapatkan konsekuensi yang tidak menyenangkan seperti dimarahi
petugas atau kena denda. Oleh karena itu, sangat wajarlah jika perilaku
menyampah di bandara, di jalan atau di tempat umum jarang ditemui di lingkungan
ataupun di negara yang menindak tegas siapa saja yang menyampah.
Dari perspektif psikologi behavioristik, pembentukan
kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, dapat dilakukan dengan ’latihan yang
berulang-ulang’. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana latihan yang 2 berulang
kali itu membutuhkan sarana bantu dari luar. Pada awalnya, dibutuhkan alat
bantu berupa sanksi pidana berupa denda sejumlah, petugas berwibawa yang akan
konsekuen dan konsisten menerapkan sanksi kepada siapa yang melanggar, ditambah
dengan adanya kepastian akan terdeteksinya individu yang melakukan pelanggaran.
Sanksi ini tentu saja perlu disertai dengan kondisi lingkungan yang mempermudah
individu untuk membuang sampah pada tempatnya, misalnya dengan penambahan
tempat sampah yang jumlahnya lebih banyak dan lebih terjangkau ketika
orang-orang membutuhkannya. Selain itu, tetap diperlukan tulisan-tulisan yang
dapat mengingatkan individu untuk membuang sampah pada tempatnya.
Agar lebih
efektif dan efisien, pada awalnya, jumlah maupun luas ruang publik di wilayah
Kota Surabaya yang termasuk ’kawasan bebas sampah’ dibatasi. Di wilayah
terbatas ini, ’sarana bantu dari luar’ sebagaimana yang disebutkan di atas yang
bertujuan membentuk perilaku tidak menyampah, diberlakukan dengan tegas. Ketika
perilaku yang diharapkan sudah terjadi pada kawasan bebas sampah terbatas tadi
telah terbentuk, maka secara progresif kawasan bebas sampah semakin diperluas,
hingga pada akhirnya seluruh wilayah di Kota Surabaya menjadi kawasan bebas
sampah.
Cara mengurangi
perilaku menyampah di atas dilakukan melalui pemberian punishment. Untuk
tujuan yang sama, dapat dilakukan dengan pemberian reward. Pinsipnya
sama, yakni dilakukan secara bertahap, mulai dari level yang (paling) kecil
hingga ke level paling luas/besar. Sebagai contoh, sebelum Kota Surabaya
mengikuti lomba Adipura, Pemerintah Kota Surabaya terlebih dahulu dapat
melakukan lomba kawasan bebas sampah di tingkat RT, lalu meningkat ketingkat
RW, kelurahan, dan kecamatan. Dengan demikian, semua wilayah di Kota Surabaya
akan terbebas dari sampah. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa lomba
Adipura kurang efektif membentuk perilaku bersih di wilayah Kota Surabaya dan
wilayah lainnya, karena menggunakan pendekatan dari atas (makro) ke bawah
(mikro). Tujuan yang hendak dicapai terlalu luas sehingga kurang fokus.
Sebenarnya, yang
paling sulit sebenarnya adalah membentuk perilaku masing-masing individu.
Pembentukan perilaku pada level yang paling kecil justru akan bersentuhan
langsung dengan individu. Yang diharapkan nantinya adalah bahwa perilaku
membuang sampah pada tempatnya sungguh sudah menjadi suatu disposisi setiap
orang sehingga tidak lagi diperlukan struktur atau alat bantu dari luar diri
individu. Dengan menggunakan mekanisme pembiasaan, pembentukan perilaku
membuang sampah pada tempatnya perlu dilakukan sejak dini melalui lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Perspektif
Kognitif
Psikologi kognitif yang mendapatkan dasarnya dari aliran
filsafat rasionalisme memandang bahwa perilaku manusia tidak begitu saja
dibentuk oleh lingkungan sebagaimana yang diyakini oleh para penganut teori
behavioristik. Psikologi kognitif dengan tokohnya seperti Max Wertheimer, Kurt
Koffka, Wolfgang Kohler, Kurt Levin, dan Jean Piaget menyatakan bahwa manusia tidak
sekedar menerima stimulus dari lingkungan, namun ia berusaha memahami
lingkungan yang dihadapi dan merespon dengan pikiran yang dimiliki. Dengan
berpikir, manusia mampu mengolah informasi yang 3 diterimanya untuk mendapatkan
pengertian yang lebih baik mengenai lingkungan dan dirinya sendiri yang
selanjutnya akan menghasilkan perilaku tertentu.
Dalam otak organisme, khususnya manusia, sudah terdapat suatu
struktur kognitif yang akan mengelola informasi yang diterima dari lingkungan.
Pengetahuan dan persepsi organisme akan lingkungannya memiliki peranan yang
amat besar dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Dengan demikian,
respon atau perilaku organisme terhadap lingkungan merupakan proses pengambilan
keputusan. Maka tidaklah mengherankan jika penganut teori kognitif menyebut
manusia disebut sebagai homo sapiens, yakni makhluk yang berpikir.
Dalam kaitannya
dengan perilaku menyampah, perlu disadari bahwa pengetahuan dan pengalaman yang
berbeda terkait dengan sampah, akan menghasilkan persepsi yang berbeda di
antara individu-individu, yang selanjutnya akan menghasilkan sikap dan perilaku
yang berbeda terhadap sampah. Untuk itu, dalam pendekatan kognitif, hal yang
terpenting dalam mengubah sikap dan perilaku menyampah adalah mengubah persepsi
individu tentang sampah. Dalam hal ini, persepsi yang positif terhadap perilaku
membuang sampah akan melahirkan perilaku membuang sampah pada tempatnya. Proses
mengubah persepsi, sikap dan perilaku individu terkait dengan sampah disebut
dengan proses persuasi, yang dapat dilakukan melalui berbagai media seperti
iklan, brosur, penyuluhan dan pendidikan lingkungan. Berkaitan dengan kasus di
atas, dapat disimpulkan bahwa pria dan perempuan tersebut tidak memiliki
pengetahuan (knowledge) dan kesadaran akan dampak-dampak negatif (awareness
of consequeces) yang memadai terkait dengan perilaku menyampah yang
selanjutnya membentuk sikap dan perilaku negatif terkait dengan sampah. Untuk
itu, proses persuasi perlu dilakukan terhadap individu-individu yang menyampah.
Perspektif
Humanistik
Aliran
Humanistik lahir sebagai reaksi terhadap aliran-aliran psikologi sebelumnya
yakni psikoanalisis, behaviorisme, dan kognitif. Psikologi humanistik dengan
tokohnya Carl Rogers dan Abraham Maslow cenderung menolak pendapat bahwa perilaku
manusia dikendalikan oleh impuls bawah sadar (psikoanalisa), atau oleh stimuli
eksternal (behaviorisme), atau oleh pengolahan informasi dalam persepsi dan
memori (kognitif). Psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi
yang positif dan menentukan. Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki cinta,
kreativitas, nilai dan makna serta pertumbuhan pribadi. Manusia memiliki
potensi untuk mengarahkan perilakunya untuk mencapai tujuan setinggi mungkin.
Oleh karena itu, teori humanistik menyebut manusia sebagai homo ludens,
yakni manusia yang mengerti makna kehidupan.
Dalam pandangan Calr Rogers, perilaku manusia dikuasai oleh
(yang disebutnya) the actualizing tendency, yaitu suatu kecenderungan
yang ada dalam diri (inhern) manusia untuk mengembangkan kapasitasnya
sedemikian rupa guna memelihara dan mengembangkan diri. Motivasi yang timbul
akibat kecenderungan ini meningkatkan kemandirian dan mengembangkan kreativitas
individu. Selanjutnya, menurut Abraham Maslow, perilaku manusia terkait dengan
kebutuhan yang tersusun menurut suatu hirarki kebutuhan (hierarchy of 4 need),
mulai dari yang paling rendah yaitu kebutuhan: fisiologis dasar, rasa aman dan
tentram, dicintai dan disayangi, dihargai, hingga mengaktualisasikan diri.
Dalam kaitannya
dengan sampah, sama seperti manusia lainnya di negara-negara maju seperti
Jerman dan Singapura, manusia Indonesia juga menghasilkan sampah setiap hari.
Bahkan rata-rata penduduk negara maju menghasilkan sampah lima lipat dari orang
Indonesia. Tetapi, mengapa mereka tidak menyampah? Ditinjau dari teori
kebutuhan Maslow, tingkat kebutuhan masyarakat negara maju sudah sampai pada
tahap kebutuhan di atas kebutuhan primer seperti makan, minum dan hidup
sehari-hari. Masyarakat negara maju seperti Jerman atau Singapura sudah
mencapai tahap kebutuhan akan seni, keindahan, kebutuhan menghargai alam.
Tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat berkorelasi dengan sikap dan perilaku terhadap
lingkungan, termasuk menyampah. Berbagai penelitian, misalnya yang dilakukan Kalantari
dkk, (2007) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara tingkat kesejahteraan
suatu masyarakat dengan sikap dan perilaku ramah lingkungan (environmentally
friendly attitude and behavior). Artinya, semakin tinggi tingkat kemakmuran
suatu masyarakat, maka akan semakin positif sikap dan perilakunya terhadap
lingkungan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kemakmuran suatu masyarakat,
maka akan semakin negatif sikap dan perilakunya terhadap lingkungan. Untuk itu,
adalah suatu tantangan yang sangat besar bagi kita semua, terutama bagi
pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesejateraan masyarakatnya. Peningkatan
kesejahteraan dapat meningkatkan level pemenuhan kebutuhan individu yang akan
berdampak positif terhadap sikap dan perilaku yang ramah lingkungan, termasuk
perilaku tidak membuang sampah sembarangan.
Manusia Makhluk
Menyampah
Manusia pada
dasarnya adalah ’makhluk menyampah’. Tidak dapat dipungkiri, sampah adalah
sesuatu yang melekat, tidak dapat dapat dilepaskan dari hidup manusia. Di mana
ada manusia, di situ pasti ada sampah. Sampah merupakan konsekuensi hidup,
karena setiap aktivitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Dengan
kata lain, sampah sebenarnya bukan musuh manusia. Karena kalau manusia memusuhi
sampah, ia sebenarnya memusuhi dirinya sendiri.
Dibandingkan
dengan manusia, makhluk hidup lainnya yakni tumbuhan dan binatang dalam
pemenuhan kebutuhan biologisnya tidak pernah mengambil dari alam lebih daripada
yang bisa mereka gunakan. Sebaliknya, manusia dalam kapasitasnya mengerjakan
lebih banyak hal di luar pemenuhan kebutuhan hidup organisnya, berpotensi
mengambil lebih banyak daripada yang sesungguhnya mereka butuhkan, sambil
sekaligus membuang sebagian besar dari yang mereka ambil itu dan menjadikannya
sampah. Sampah kebanyakan lahir dari ketidakmampuan manusia mengatakan ‘cukup’
terhadap kebutuhannya. Dengan kata lain, sampah banyak yang tercipta dari gaya
hidup (life style) manusia yang melampaui kebutuhannya. Semakin maju
peradaban hidup manusia, semakin banyak bermunculan kebutuhan yang dirasakan
(keinginan) sehingga semakin banyak sampah yang dihasilkannya. Namun, sampah
yang diciptakan manusia akan menjadi masalah jika diikuti oleh 5 perilaku
mengelola sampah secara sembarangan. Dengan kata lain, jika suatu masyarakat
bermasalah dengan sampah, sebenarnya masyarakat tersebut yang bermasalah dengan
dirinya, dengan perilaku sendiri dalam menciptakan dan mengelola sampah
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar