Selasa, 15 Maret 2011

Teori Kesesakan

A. Pengertian Kesesakan

Menurut Altaman (dalam, Prabowo 1998), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.

Menurut Baum dan Paulus (dalam, Prabowo 1998) menerangkan terdapat 4 faktor :
a. Karakteristik seting fisik
b. Karakteristik seting sosial
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi



Menurut Stokols (dalam, Prabowo 1998) menjelaskan perbadaan antara kesesakan sosial dengan kesesakan bukan sosial yaitu:
a. kesesakan bukan sosial (Nonsocial crowding) yaitu faktor fisik menghasilakan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah yang sempit.
b. kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran oranglain yang terlalu banyak.

Stokols juga membedaan antara kesesakan molekuler dan molar yaitu:
a. kesesakan mokelar (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.
b. kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.

Menurut Ancok (1989) besar kecilnya rumah menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Begitu pula sebaliknya dengan rumah yang makin kecil dan banyak penghuninya akan muncul perasaan sesak.
Menurut Rapoport (dalam, Prabowo 1998) menjelaskan kesesakan adalah suatu evaluasi subjetif dimana besarnya ruang dirasakan tidak mencukupi.

Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu : Beban Stimulus, Kendala Perilaku, dan Teori Ekologi (Bell dkk, 1978; Holahan, 1982).
1. Model Beban Stimulus, yaitu : kesesakan akan terjadi pada individu yang dikenai terlalu banyak stimulus, sehingga individu tersebut tak mampu lagi memprosesnya.
2. Model Kendala Prilaku, yaitu : menerangkan kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa, sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Hambatan ini mengakibatkan individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Terhadap kondisi tersebut, individu akan melakukan psychological reactance, yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi yang mengancam kebebasan untuk memiliih.
3. Model Teori Ekologi, yaitu : membahas kesesakan dari sudut proses sosial.
Bentuk pschological reactance adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi kebebasan yang hilang dengan cara mencari lingkungan baru atau dengan menata kembali lingkungan yang menyesakkan. Pembahasan teori ekologi akan membahas kesesakan dari sudut proses sosial.

1. Teori Beban Stimulus

Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti:

(a) Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan.
(b) Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat.
(c) Suatu percakapan yang tidak dikehendaki.
(d) Terlalu banyak mitra interaksi.
(e) Interaksi yang terjadi dirasa lalu dalam atau terlalu lama.

2. Teori Ekologi

Menurut Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.
Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.

Analisi terhadap seting meliputi :
1. Maintenance minim, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4 x 3 m bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
2. Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan)
3. Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
• Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan isteri.
• Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga.
Besarnya maintenance minim antara performer dan non-performer tidak terlalu sama. Dalam seting tertentu, jumlah performer lebih sedikit daripada jumlah non-performer, dalam seting lain mungkin sebaliknya.

3. Teori Kendala Perilaku

menurut Proshasky dkk (1979) mengemukakan bahwa pengaruh psikologi dari kesesakan yang utama adalah kebebasan memilih individu dalam situasi yang sesak.
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak apabila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat.



Menurut Altman kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor dibawah ini muncul secara simultan:

1. Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor :
(a) Faktor-faktor situsional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.
(b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.
(c) Kondisi interpersonal, sepwerti gangguan sosial, ketidak mampuan memperoleh sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan lainnya.

2. Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stress, kekacauan pikiran, dan persaan kurang enak badan.

3. Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stress atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.

Untuk mendapatkan interaksi yang diinginkan menggunakan bermacam-macam mekanisme penyesuaian diri (coping) antara lain verbal, paravebal, non verbal, ruang personal, dan perilaku teritori

Faktor-Faktor yang Mempengaharui Kesesakan

Terdapat tiga faktor yang mempengarui kesesakan yaitu : personal, sosial, dan fisik.

1. Faktor Personal

Terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.

a. Kontrol pribadi dan locus of control
Menurut gifford (1987) individu yang mempunyai locus control internal, yaitu kecendrungna individu untuk mempercayai atau tidak mempercayai bahwa keadaan yang belum ada di dalam dirinya yang berpengaruh terhadap kehidupan, dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal
b. Budaya, pengalaman dan proses
Menurut sundstrom (dalam ,) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres akibat kesesakan yang dialami.
c. Jenis kelamin dan usia
Menurut altman dkk penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibandingkan wanita kerena wanita lebih menunjukkan sikap-sikap reaktip terhadap kondisi seperti sikap yang lebih agresif, kompetitif dan negatif dalam berinteraksi dengna oranglain.

2. Faktor Sosial

Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaharui oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk kedaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :

(a) Kehadiran dan perilaku orang lain.
(b) Formasi koalisi.
(c) Kualitas hubungan.
(d) Informasi yang tersedia.

3. Faktor Fisik

Altman (1975), Bell dkk (1978), Gove dah Hughes(1983) mengemukakan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaharui kesesakkan. Stessor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain :

(a) Besarnya skala lingkungan.
(b) Variasi arsitektural.


3. Pengaruh pada Kesesakan
Faktor sosial yang mempengaruhi rasa kesesakan adalah kualitas relasi di antara orang-orang yang harus berbagi ruang tersebut. Kesesakan akan semakin terasa apabila kerumunan orang yang berada di sekitar kita tidak kita kenal. Karena itu, kesesakan yang dirasakan terkait dengan harapan seseorang atau relasi terhadap orang lain di sekitarnya.
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan tipe informasi yang diperoleh seseorang sebelum atau selama mengalami kepadatan tinggi. Mereka yang tidak menerima informasi sama sekali atau mendapat pesan mengenai reaksi emosional.
Tatanan ruang di dalam bangunan atau pun di luar bangunan juga mempengaruhi kesesakan. Sebuah asrama yang memiliki lorong panjang, menimbulkan kesesakan dan stres bagi penghuni dibandingkan lorong yang pendek. Tinggal di hunian bertingkat banyak menimbulkan kesesakan yang lebih besar dibandingkan dengan di hunian bertingkat rendah. Penghuni yang tinggal di lantai yang lebih tinggi tidak terlalu merasa sesak dibandingkan dengan yang tinggal di lantai bawah (Schiffenbauer, 1979). Hal ini mungkin terjadi karena lebih sedikit tamu yang menuju ke aras atau karena pemandangan dari jendela lantai atas lebih luas dan lebih terang.


4. Dampak Kepadatan pada Manusia
Pengaruh personal, sosial dan fisik dapat menyebabkan seseorang merasa sesak. Kepadatan tinggi tidak hanya menyebabkan seseorang merasa sesak, tetapi juaga menyebabkan dampak sebagai berikut.
a. Dampak penyakit dan patologi sosial atau penyakit kejiwaan. Meskipun tidak selalu kepadatan tinggi berarti meningkatnya patologi sosial.
b. Dampak pada tingkah laku sosial, yaitu agresi, menarik diri dari lingkungan sosial, cenderung melihat sisi negatif orang lain.
c. Dampak pada hasil usaha dan suasana hati. Hasil usaha yang menurun dan suasana hati yang cenderung murung.
Konsekuensi lain dari kepadatan tinggi adalah persepsi bahwa kontrol seseorang menjadi rendah karena kita harus berbagi sumber dan mengambil keputusan bersama dengan lebih banyak orang jika kepadatan meningkat.



(Sumber: ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA, karya Joyce Marcella Laurens)
prabowo, H .1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Jakarta: Gunadarma.

Rabu, 09 Maret 2011

KEPADATAN

A. Definisi Kepadatan adalah :

- Sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (Sundstrom, dalam Wrightsman & Deaux, 1981).
- Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
- Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat apabila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Akibat negatif dari Kepadatan
Penelitian menurut Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba merinci manusia yang merasakan dan reaksi terhadap kepadatan yang terjadi. Hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan yaitu :
1. Ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan keseharan atau peningkatan pada kelompok manusia.
2. Peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa menjadi sangat menurun bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density)
3. Terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

B. katagori Kepadatan :

- Menurut Holahan (1982) yaitu :
1. Kepadatan Spasial (Spatial Density) terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang.
2. Kepadatan Spasial (Spatial Density) terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

- Menurut Altman (1975) yaitu :
1. Kepadatan Dalam (Inside Density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruangan atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar, dsb.
2. Kepadatan Luar (Outside Density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

- Menurut Jain (1987) yaitu :

Setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.


- Menurut Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman yaitu :
1. Lingkungan Pinggiran Kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah.
2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah.
3. Lingkungan mewah perkotaan, dimana kepada dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi.
4. Pekampungan Kota ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
A.

- Menurut Taylor (dalam Gifford, 1982) yaitu :
Lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaharui sikap, perilaku, keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.

C. Akibat dari Kepadatan Tinggi

Rumah dan Lingkungan pemukiman akan memberikan pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya, para ahli mengemukakan akibat dari kepadatan yang tinggi yaitu:

- Menurut Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaharui sikap, perilaku, dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.

- Menurut Schorr (dalam Ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stres dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974).

- Menurut Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan MacFarling, 1978) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi sosial. Para mahasiswa yang bertempat tinggal di asrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain mahasiswa yang tinggal di tempat padat cenderung untuk menghindari kontak sosial dengan orang lain.

- Akibat secara Fisik yaitu : reakasi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan MacFarling, 1978).

- Akibat secara Sosial yaitu : adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan MacFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).

- Akibat secara Psikis yaitu:
1. Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stress (Jain, 1987) dan perubahan susana hati (Holahan, 1982).
2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan MacFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
3. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan, 1982; Fisher dkk., 1984).
4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan MacFarling, 1987; Holahan. 1982).


prabowo, H .1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Jakarta: Gunadarma.

Rabu, 02 Maret 2011

Ambient Condition dan Architectural Features

A. AMBIENT CONDITION


 Rahardjani (1987) dan Ancok (1988) : beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku, yaitu : kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan, dan warna.
 Menurut Ancok (1988) : keadaan yang bising dan temperatur yang tinggi dapat mempengaruhi emosi seseorang ditempat tersebut, dan ini akan dapat berpengaruh terhadapt hubungan sosial didalam maupun diluar rumah.
 Menurut Rahardjani (1987) : kebisingan juga dapat berakibat menurunnya kemampuan mendengar seseorang dan menurunnya konsentrasi belajar pada anak.
 Menurut Ancok (1988) : sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik dan ketegangan jiwa.

Kebisingan

Sarwono (1992), terdapat tiga faktor yang menyebabkan suatu suara secara psikologis dianggap bising, yaitu : volume, perkiraan, dan pengendalian. Jika dilihat dari tingkat volume, suara yang makin keras akan semakin dirasakan mengganggu. Lalu kebisingan dapat diperkiraan datangnya atau berbunyi secara teratur, akan menimbulkan gangguan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan suara yang datangnya secara tiba-tiba dan tidak teratur.
Faktor kendali amat terkait dengan perkiraan, bila kita menyetel lagu metal, kita tidak merasakannya sebagai suatu kebisingan karena kita dapat mengaturnya sekehendak kapan suara itu kita perlukan.
Holahan (1982), membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi empat efek, tiga diantaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku. Kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematik yang secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Pada efek kesehatan, jika kebisingan dalam intensitas yang tinggi kita biarkan saja dan dalam jangka yang panjang, maka akan dapat menjadi penyebab hilangnya kemampuan kita dalam mendengar. Dan pada efek perilaku, kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi hilangnya beberapa aspek perilaku sosial

Suhu dan Polusi Udara
Holahan (1982), tingginya suhu dan polusi udara setidaknya minimal menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. Beberapa studi korelasional dibeberapa kota di Amerika Serikat menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara musim panas dan tingkat mortalitas. Tahun 1976 tingkat mortalitas ini meningkat hingga 50% dibeberapa area. Studi lain menunjukan adanya hubungan antara meningkatnya polusi udara dengan munculnya berbagai penyakit pernapasan seperti asma, infeksi saluran pernapasan, serta flu dibeberapa kota diAmerika Serikat. Pada efek perilaku menunjukan bahwa temperature yang tinggi akan mempengaruhi perilaku sosial. Seorang yang dalam keadaan temperature tinggi (lebih dari 100 derajat F) ternyata memiliki penilaian yang tidak jelas pada kuesioner, dan jelas berbeda dengan orang yang dalam kondisi nyaman.
Bell dan Baron (dalam holahan, 1982) gagal menemukan bahwa panas dapat mengurangi perhatian seseorang terhadap orang lain disekitarnya. Baron dan kawan-kawannya (dalam holahan, 1982), temperatur yang tinggi dapat mengurangi tingkat agresi seseorang pada orang lain pada seting yang sama. Kedua hasil dari penelitian ini penyebabnya adalah karena adanya perasaan senasib.
Rahardjani (1987), suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : warna dinding dalam dan luar rumah, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni. Suhu yang paling nyaman adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Menurut Mom dan Weilsebrom, secara fisiologis aliran udara berfungsi sebagai pasokan oksigen untuk pernapasan; mengalirkan uap air yang berlebihan dan asap; mengurangi konsentrasi gas, bakteri, dan bau; mendinginkan suhu; dan membantu penguapan keringan manusia.

Pencahayaan dan Warna
Fisher dan kawan-kawan (1984), pada dasarnya, cahaya dapat mempengaruhi kinerja, dengan cara mempermudah atau mempersulit penglihatan ketika kita mengerjakan sesuatu. Pada satu sisi, tidak adanya cahaya sama sekali akan membuat kita tidak mampu untuk mengerjakan suatu tugas dikarenakan kita tidak dapat membacanya.
Suatu studi oleh Boyce (1984) dan pendapat holahan (1982) yang menunjukan bahwa ketika cahaya meningkat sampai mencapai suatu tingkat kritis, kemampuan visual dan kinerja meningkat.
Corwin bennet (1982) menemukan bahwa penerangan yang lebih kuat ternyata mempengaruhi kinerja visual kita menjadi semakin meningkat dan teliti. Akan tetapi juga dapat menunjukan bahwa pada satu titik dimana cahaya menjadi terlalu besar, kemampuan visual kita dapat menurun.
Seperti halnya cahaya, warna juga dapat mempengaruhi kita secara langsung maupun ketika menjadi bagian dari suatu seting. Cahaya dan warna sulit untuk dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi.

Silau
Peristiwa silau terjadi ketika suatu sumber cahaya lebih terang dari pada tingkat penerangan yang normal, sehingga mata kita beradaptasi dengan cara menutupnya langsung seketika, ketika kita melihatnya. Studi yang dilakukan boyce dan Mc Cormick (1982) menunjukan bahwa disability glare atau efek langsung dari silau pada kinerja visual ternyata dapat mempengaruhi kualitas kerja seseorang. Efek negatif lainnya adalah meningkatkan perasaan silau sampai mendekati garis pandangan seseorang.

Warna
Warna yang amat terang dapat berpengaruh terhadap penglihatan. Area yang diberikan warna lebih terang disatu sisi menimbulkan kelelahan mata, juga akan menghasilkan bayangan yang mengganggu. Warna yang terlalu kontras, dapat memberikan terlalu banyak penangkapan mata dan memberikan kesan membingungkan (Lang, 1987).
Heimstra dan Mc Farling, warna memiliki tiga dimensi, yaitu: kecerahan (brightness), corak warna (hue), dan kejenuhan (saturation). Kecerahan adalah intensitas warna; corak warna adalah warna yang melekat dari suatu objek; kejenuhan adalah tingkatan unsure warna putih yang dicampurkan pada warna lainnya. Khroma untuk menggantikan kejenuhan, dan nilai (value), yaitu tingkatan gelap dan terang warna.
Holahan (1982) dan Mehrabian & Russel (1978), warna juga memiliki efek independen terhadap suasana hati, tingkat pembangkitan, dan sikap. Wilson (1984) dan Mehrabian & Russel (1978) melaporkan bahwa corak merah memunculkan pembangkitan fisiologis dari pada corak hijau. Nakshian dan Birren (1978) warna merah lebih membangkitkan dari pada warna abu-abu, sedangkan abu-abu lebih membangkitkan dari pada hijau.
Baum dan Davis menemukan bahwa intensitas yang berbeda dari warna yang sama mempengaruhi respon subjek terhadap ruang-ruang yang dijadikan objek. Penelitian lain oleh Helson dan Landsford (1970) menemukan bahwa latar belakang warna yang paling ceria adalah putih, cahaya merah yang ringan, kuning, hijau, dan biru, demikian pula dengan hijau gelap dan hitam.
Child dan Iwaomelakukan penelitian tentang pengaruh warna terhadap perilaku mahasiswa-mahasiswa dari jepang dan amerika. Hasilnya menunjukan bahwa mahasiswa dari kedua negara tersebut tidak konsisten terhadap pilihan warna terang.
Lang (1987) terdapat perkiraan untuk mempertimbangkan efek psikologis dari persepsi warna. Beberapa ahli percaya bahwa warna gelap memiliki efek ke arah depresif, dan warna terang membuat hidup menjadi lebih mudah, lebih gembira, dan lebih akrab.

Pencahayaan dan Warna Di Dalam Ruangan
Preferensi warna akan menjadi lebih baik jika disertai adanya pemahaman terhadap situasi yang lebih mendalam terhadap jenis ruangan apa yang akan dirancang. Pemahaman tersebut antara lain adalah besar kecilnya ruangan, fungsi ruangan, dan kejenuhan.

B. ARCHITECTURAL FEATURES

Estetika
Pengetahuan tentang estetika akan memberikan perhatian pada dua hal. Pertama, identitas dan pengetahuan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan untuk menikmati karya yang menunjukan estetika.
Spranger membagi orientasi hidup menjadi enam kategori yaitu,
1. nilai estetis
2. nilai ekonomi
3. nilai kekuasaan
4. nilai sosial
5. nilai religious
6. nilai intelektual.
Menurut Fisher dan kawan-kawan (1984) salah satu tujuan utama dari desain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah diselesaikan. Kualitas estetika memegang peranan penting dalam hal ini.
Penelitian tentang kesan tentang daerah urban mengemukakan bahwa kualitas estetika mempengaruhi kemampuan orang untuk menemukan jalan melintasi bentang kota (Lynch, 1984). Ada pula bukti yang mengemukakan bahwa kualitas estetika dapat mengurangi monotoni kota dan memelihara tingkat stimulasi yang memadai.
Penelitian Maslow dan Mintz (1956) membandingkan penilaian subjek terhadap serangkaian foto ruangan-ruangan yang “indah”, ruangan yang biasa, dan ruangan yang buruk. Hasilnya menunjukan bahwa penilaian subjek terhadap foto akan positif jika mereka pernah berada di dalam ruangan yang indah, dan akan negatif jika mereka pernah berada pada ruangan yang buruk.

Perabot
Perabot, pengaturannya, dan aspek-aspek lain dari lingkungan ruang dalam merupakan salah satu penentu perilaku penting. Imamoglu menemukan bahwa ruangan yang kosong dipersepsikan lebih besar dari pada ruangan yang memiliki perabot.
Pengaturan perabot dapat digunakan untuk membantu mengatur perencanaan tata ruang arsitektur suatu seting. Pada kebanyakan konteks lingkungan, dinding, lokasi pintu sudah ditetapkan. Samuelson dan Lindauer (1978) melakukan studi mengenai penataan perabotan.