A. AMBIENT CONDITION
Rahardjani (1987) dan Ancok (1988) : beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku, yaitu : kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan, dan warna.
Menurut Ancok (1988) : keadaan yang bising dan temperatur yang tinggi dapat mempengaruhi emosi seseorang ditempat tersebut, dan ini akan dapat berpengaruh terhadapt hubungan sosial didalam maupun diluar rumah.
Menurut Rahardjani (1987) : kebisingan juga dapat berakibat menurunnya kemampuan mendengar seseorang dan menurunnya konsentrasi belajar pada anak.
Menurut Ancok (1988) : sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik dan ketegangan jiwa.
Kebisingan
Sarwono (1992), terdapat tiga faktor yang menyebabkan suatu suara secara psikologis dianggap bising, yaitu : volume, perkiraan, dan pengendalian. Jika dilihat dari tingkat volume, suara yang makin keras akan semakin dirasakan mengganggu. Lalu kebisingan dapat diperkiraan datangnya atau berbunyi secara teratur, akan menimbulkan gangguan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan suara yang datangnya secara tiba-tiba dan tidak teratur.
Faktor kendali amat terkait dengan perkiraan, bila kita menyetel lagu metal, kita tidak merasakannya sebagai suatu kebisingan karena kita dapat mengaturnya sekehendak kapan suara itu kita perlukan.
Holahan (1982), membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi empat efek, tiga diantaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku. Kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematik yang secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Pada efek kesehatan, jika kebisingan dalam intensitas yang tinggi kita biarkan saja dan dalam jangka yang panjang, maka akan dapat menjadi penyebab hilangnya kemampuan kita dalam mendengar. Dan pada efek perilaku, kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi hilangnya beberapa aspek perilaku sosial
Suhu dan Polusi Udara
Holahan (1982), tingginya suhu dan polusi udara setidaknya minimal menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. Beberapa studi korelasional dibeberapa kota di Amerika Serikat menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara musim panas dan tingkat mortalitas. Tahun 1976 tingkat mortalitas ini meningkat hingga 50% dibeberapa area. Studi lain menunjukan adanya hubungan antara meningkatnya polusi udara dengan munculnya berbagai penyakit pernapasan seperti asma, infeksi saluran pernapasan, serta flu dibeberapa kota diAmerika Serikat. Pada efek perilaku menunjukan bahwa temperature yang tinggi akan mempengaruhi perilaku sosial. Seorang yang dalam keadaan temperature tinggi (lebih dari 100 derajat F) ternyata memiliki penilaian yang tidak jelas pada kuesioner, dan jelas berbeda dengan orang yang dalam kondisi nyaman.
Bell dan Baron (dalam holahan, 1982) gagal menemukan bahwa panas dapat mengurangi perhatian seseorang terhadap orang lain disekitarnya. Baron dan kawan-kawannya (dalam holahan, 1982), temperatur yang tinggi dapat mengurangi tingkat agresi seseorang pada orang lain pada seting yang sama. Kedua hasil dari penelitian ini penyebabnya adalah karena adanya perasaan senasib.
Rahardjani (1987), suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : warna dinding dalam dan luar rumah, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni. Suhu yang paling nyaman adalah kurang lebih 25 derajat Celcius. Menurut Mom dan Weilsebrom, secara fisiologis aliran udara berfungsi sebagai pasokan oksigen untuk pernapasan; mengalirkan uap air yang berlebihan dan asap; mengurangi konsentrasi gas, bakteri, dan bau; mendinginkan suhu; dan membantu penguapan keringan manusia.
Pencahayaan dan Warna
Fisher dan kawan-kawan (1984), pada dasarnya, cahaya dapat mempengaruhi kinerja, dengan cara mempermudah atau mempersulit penglihatan ketika kita mengerjakan sesuatu. Pada satu sisi, tidak adanya cahaya sama sekali akan membuat kita tidak mampu untuk mengerjakan suatu tugas dikarenakan kita tidak dapat membacanya.
Suatu studi oleh Boyce (1984) dan pendapat holahan (1982) yang menunjukan bahwa ketika cahaya meningkat sampai mencapai suatu tingkat kritis, kemampuan visual dan kinerja meningkat.
Corwin bennet (1982) menemukan bahwa penerangan yang lebih kuat ternyata mempengaruhi kinerja visual kita menjadi semakin meningkat dan teliti. Akan tetapi juga dapat menunjukan bahwa pada satu titik dimana cahaya menjadi terlalu besar, kemampuan visual kita dapat menurun.
Seperti halnya cahaya, warna juga dapat mempengaruhi kita secara langsung maupun ketika menjadi bagian dari suatu seting. Cahaya dan warna sulit untuk dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi.
Silau
Peristiwa silau terjadi ketika suatu sumber cahaya lebih terang dari pada tingkat penerangan yang normal, sehingga mata kita beradaptasi dengan cara menutupnya langsung seketika, ketika kita melihatnya. Studi yang dilakukan boyce dan Mc Cormick (1982) menunjukan bahwa disability glare atau efek langsung dari silau pada kinerja visual ternyata dapat mempengaruhi kualitas kerja seseorang. Efek negatif lainnya adalah meningkatkan perasaan silau sampai mendekati garis pandangan seseorang.
Warna
Warna yang amat terang dapat berpengaruh terhadap penglihatan. Area yang diberikan warna lebih terang disatu sisi menimbulkan kelelahan mata, juga akan menghasilkan bayangan yang mengganggu. Warna yang terlalu kontras, dapat memberikan terlalu banyak penangkapan mata dan memberikan kesan membingungkan (Lang, 1987).
Heimstra dan Mc Farling, warna memiliki tiga dimensi, yaitu: kecerahan (brightness), corak warna (hue), dan kejenuhan (saturation). Kecerahan adalah intensitas warna; corak warna adalah warna yang melekat dari suatu objek; kejenuhan adalah tingkatan unsure warna putih yang dicampurkan pada warna lainnya. Khroma untuk menggantikan kejenuhan, dan nilai (value), yaitu tingkatan gelap dan terang warna.
Holahan (1982) dan Mehrabian & Russel (1978), warna juga memiliki efek independen terhadap suasana hati, tingkat pembangkitan, dan sikap. Wilson (1984) dan Mehrabian & Russel (1978) melaporkan bahwa corak merah memunculkan pembangkitan fisiologis dari pada corak hijau. Nakshian dan Birren (1978) warna merah lebih membangkitkan dari pada warna abu-abu, sedangkan abu-abu lebih membangkitkan dari pada hijau.
Baum dan Davis menemukan bahwa intensitas yang berbeda dari warna yang sama mempengaruhi respon subjek terhadap ruang-ruang yang dijadikan objek. Penelitian lain oleh Helson dan Landsford (1970) menemukan bahwa latar belakang warna yang paling ceria adalah putih, cahaya merah yang ringan, kuning, hijau, dan biru, demikian pula dengan hijau gelap dan hitam.
Child dan Iwaomelakukan penelitian tentang pengaruh warna terhadap perilaku mahasiswa-mahasiswa dari jepang dan amerika. Hasilnya menunjukan bahwa mahasiswa dari kedua negara tersebut tidak konsisten terhadap pilihan warna terang.
Lang (1987) terdapat perkiraan untuk mempertimbangkan efek psikologis dari persepsi warna. Beberapa ahli percaya bahwa warna gelap memiliki efek ke arah depresif, dan warna terang membuat hidup menjadi lebih mudah, lebih gembira, dan lebih akrab.
Pencahayaan dan Warna Di Dalam Ruangan
Preferensi warna akan menjadi lebih baik jika disertai adanya pemahaman terhadap situasi yang lebih mendalam terhadap jenis ruangan apa yang akan dirancang. Pemahaman tersebut antara lain adalah besar kecilnya ruangan, fungsi ruangan, dan kejenuhan.
B. ARCHITECTURAL FEATURES
Estetika
Pengetahuan tentang estetika akan memberikan perhatian pada dua hal. Pertama, identitas dan pengetahuan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan untuk menikmati karya yang menunjukan estetika.
Spranger membagi orientasi hidup menjadi enam kategori yaitu,
1. nilai estetis
2. nilai ekonomi
3. nilai kekuasaan
4. nilai sosial
5. nilai religious
6. nilai intelektual.
Menurut Fisher dan kawan-kawan (1984) salah satu tujuan utama dari desain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah diselesaikan. Kualitas estetika memegang peranan penting dalam hal ini.
Penelitian tentang kesan tentang daerah urban mengemukakan bahwa kualitas estetika mempengaruhi kemampuan orang untuk menemukan jalan melintasi bentang kota (Lynch, 1984). Ada pula bukti yang mengemukakan bahwa kualitas estetika dapat mengurangi monotoni kota dan memelihara tingkat stimulasi yang memadai.
Penelitian Maslow dan Mintz (1956) membandingkan penilaian subjek terhadap serangkaian foto ruangan-ruangan yang “indah”, ruangan yang biasa, dan ruangan yang buruk. Hasilnya menunjukan bahwa penilaian subjek terhadap foto akan positif jika mereka pernah berada di dalam ruangan yang indah, dan akan negatif jika mereka pernah berada pada ruangan yang buruk.
Perabot
Perabot, pengaturannya, dan aspek-aspek lain dari lingkungan ruang dalam merupakan salah satu penentu perilaku penting. Imamoglu menemukan bahwa ruangan yang kosong dipersepsikan lebih besar dari pada ruangan yang memiliki perabot.
Pengaturan perabot dapat digunakan untuk membantu mengatur perencanaan tata ruang arsitektur suatu seting. Pada kebanyakan konteks lingkungan, dinding, lokasi pintu sudah ditetapkan. Samuelson dan Lindauer (1978) melakukan studi mengenai penataan perabotan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar